Day 3 : Golongan Orang Diperbolehkan Tidak Berpuasa
- Selasa, 05 April 2022
- TIM MARCOM ATTAUBAH
- 0 komentar
 
      
      Islam adalah agama yang sempurna dan mudah. Meskipuasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, tetapi dalam keadaan tertentu seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Berikut penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.
- Musafir

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut mazhab yang paling kuat adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar atau bepergian. (Majmu’ Fatawa, 34/40—50, 19/243)
Orang yang melakukan perjalanan semacam ini diperkenankan untuk tidak melakukan puasa, sebagaimana yang Allah subhanahuwata’ala firmankan,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 184)

Hamzah bin ‘Amr al-Aslami radhiallahu‘anhu adalah orang yang sering melakukan puasa. Beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam, “Apakah saya berpuasa pada waktu safar?”
Beliau menjawab,
إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Puasalah jika kamu mau, dan berbukalah jika kamu mau.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiallahu‘anhu, ia berkata :
“Saya melakukan safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam pada bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa. Yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits itu menunjukkan dibolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar.Namun jika ia ingin berpuasa juga boleh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam pernah berpuasa dalam keadaan safar sebagaimana kata Abu ad-Darda radhiallahu‘anhu,
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam di bulan Ramadhan dalam keadaan sangat panas, sampai-sampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panasnya. Tidak ada yang berpuasa di antara kami kecuali Rasulullah shallallahu‘alaihiwasallam dan Abdullah bin Rawahah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2687 dan Muslim no. 2687)
Puasa itu dilakukan jika memang mampu dan tidak bermudarat bagi dirinya.Hal ini sebagaimana ucapan Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
“Mereka berpendapat, bagi yang mempunyai kekuatan lalu puasa, maka itu baik. Bagi yang mendapati kelemahan lalu tidak puasa, maka itu baik.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/92 no. 712 dan beliau katakan, “Hasan sahih.”)

Jadi, siapa saja yang fisiknya lemah dengan berpuasa saat safar, lebih baik ia tidak berpuasa. Lebih-lebih jika membawa kerugian pada dirinya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu ‘anhu. Dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam berada pada sebuah safar. Beliau melihat orang dalam jumlah banyak dan ada seoranglaki-laki yang dinaungi.
Beliau berkata, “Apa ini?”
Mereka menjawab, “Orang berpuasa.”
Beliau berkata, “Bukan termasuk kebaikan, berpuasa pada waktusafar.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Safar dengan Pesawat

Bagaimana halnya dengan safar pada masa ini? Jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu sangat singkat, dengan pesawat terbang misalnya. Apakah yang demikian menggugurkan keringanan untuk tidak berpuasa?
Jawabnya, tidak!
Rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetap ada selama itu disebut safar. Sebab, Allah subhanahuwata’ala telah mengaitkan hukum ini dengan safar. Jadi, selama itu disebut safar, bagaimana pun ringannya, rukhsah itu tetap ada.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan tidaklah Rabb-Mu lupa.” (Maryam: 64)
Orang yang tidak berpuasa di waktu safar memiliki kewajiban untuk mengqadha (mengganti) di bulan lain sebagaimana firman Allah subhanahuwata’ala di atas.
- Orang Sakit

Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah keadaan yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhan. (Lihat Fathul Bari, 8/179, Syarhul ‘Umdah Kitab Shiyam karya IbnuTaimiyah rahimahullah 1/208-209)

Orang yang sakit mendapat keringanan untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah subhanahuwata’ala:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Allah menginginkan kemudahan atas kalian dan tidak menginginkan kesusahan.”(al-Baqarah: 185)
Orang yang tidak puasa karena sakit, ia berkewajiban mengganti di selain bulan Ramadhan sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.
- Wanita Haid atau Nifas

Wanita haid tidak boleh atau haram berpuasa pada bulan Ramadhan.
Ketika ditanya oleh Mu’adzah binti Abdurrahman, “Mengapa orang yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”
‘Aisyah mengatakan, “Apakah kamu seorang Khawarij? (karena orang-orang Khawarij mewajibkan mengqadha shalat, red). Dahulu kami mengalami haid lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak di perintah mengqadha shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haid pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam tidak berpuasa. Bahkan, para ulama mengatakan haram berpuasa. Jika dia berpuasa, puasanya tidak sah. (Shifat Shaum hlm. 59)
Tentang wanita yang nifas, para ulama menjelaskan bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid.
Ibnu Rajab berkata, “Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid pada apa yang diharamkan dan apa yang digugurkan (karenanya). Telah terjadi ijmak/kesepakatan (dalam masalah ini). Bukan hanya satu saja dari kalangan ulama yang menyebutkan ijmak, di antaranya IbnuJarir rahimahullah dan yang lainnya.” (Fathul Bari Syarh al-Bukhari karya Ibnu Rajab, 1/332)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengatakan,
“Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid pada segala yang diharamkan atasnya dan pada kewajiban yang gugur darinya. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Demikian pula dalam masalah diharamkan menjimakinya, dihalalkan bersebadan (tanpa jimak), dan menikmatinya pada selain kemaluan.” (al-Mughni, 1/432)
Wanita yang tidak puasa karena haid atau nifas memiliki kewajiban meng-qadha pada selain bulan Ramadhan sebagaimana dalam hadits di atas.
- Orang yang Telah Renta
 
 
Yang dimaksud di sini adalah orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan sehingga ia tidak mampu lagi berpuasa. Orang yang keadaannya demikian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Hal itu berdasarkan firman Allah subhanahuwata’ala,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِينٍ
“…Siapa yang sakit di antara kalian atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang sudah tua yang tidak sanggup lagi berpuasa. Sebagai gantinya, dia memberi makan setiap harinya satu orang miskin setengah sha’ (kurang lebih 1,5 kg) hinthah (gandum). (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya, 2/207 dan dinilai sahih olehnya)
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun fidyah insya Allah akan dijelaskan kemudian.
5.Orang Sakit yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
“…Tidak diberi keringanan dalam masalah ini (tidak puasa lalu membayar fidyah) kecuali yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak sembuh.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya 2/138, an-Nasa’i, 1/318—319, dan al-Albani rahimahullah berkata bahwa sanadnya shahih)
- Wanita Hamil dan Menyusui

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wanita yang menyusui, hukumnya adalah seperti wanita hamil dalam segala urusannya seperti dalam penjelasan yang telah lalu. (Syarhul ‘Umdah, 1/252)
Wanita hamil atau menyusui mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas bin Malik al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu:
Kuda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam mendatangi kami, lalu aku dapati beliau sedang makan siang. Beliau mengatakan, “Mendekatlah kemudian makanlah!”

Saya katakan, “Sesungguhnya aku berpuasa.”
Beliau berkata lagi,
أُدْنُ أُحَدِّثُكَ عَنِ الصَّوْمِ –أَوْ الصِّيَامِ-، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ وَالمُرْضِعِ شَطْرَ الصَّوْمِ
“Mendekatlah, aku beritahu kamu tentang puasa, sesungguhnya Allah meletakkan dari seorang musafir setengah shalat serta meletakkan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui….” (HR. Abu Dawud no. 2408. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan hasan sahih dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 715, an-Nasai no. 2273, serta IbnuMajah no. 1667)
 
         
                   
                   
                   
                   
                   
                   
                   
                   
                   
         
         
        